Mekah saat ini tidak hanya menjadi destinasi utama untuk ibadah haji, umroh, atau ziarah wisata saja. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul tren di kalangan umat Islam yang memilih untuk menggelar pernikahan di Tanah Suci Mekah.
Seiring dengan meningkatnya minat terhadap tren ini, Mekah kini menjadi pilihan bagi pasangan yang ingin meresmikan hubungan pernikahan mereka.
Banyak orang, khususnya dari kalangan selebritis, pejabat, dan pengusaha muslim di Indonesia, yang menjalankan umroh sambil melangsungkan akad nikah di Masjidil Haram, Mekah.
Selain atmosfer kekhusyukan yang lebih terasa, melangsungkan ijab kabul di Mekah diyakini membawa berkah tersendiri. Oleh karena itu, banyak yang tertarik untuk mengikuti tren ini.
Persyaratan Menikah di Masjidil Haram
Ketika berbicara tentang kekhusyukan beribadah saat ijab kabul, hal ini menjadi motivasi bagi siapa pun yang berkeinginan menikah di Makkah.
Keuntungan lain dari menikah di Makkah adalah kemudahan proses. Izin hanya perlu diminta dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, mirip seperti proses pernikahan di Tanah Air.
Pihak pengantin hanya perlu mempersiapkan pakaian pengantin, tanpa perlu khawatir akan berbagai adat istiadat atau urusan sewa-menyewa seperti karpet, mikrofon, atau izin dari pengurus Masjid. Dengan kata lain, pengantin hanya perlu datang ke Masjid, duduk, melangsungkan akad nikah, dan kemudian pulang ke hotel.
Banyak dari kalangan selebritis, pejabat, dan pengusaha Muslim Indonesia telah menjalankan ibadah Umroh atau Haji sekaligus melangsungkan akad nikah di Masjidil Haram.
Proses ini selalu diawasi oleh pencatat pernikahan dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah dan bahkan Konsulat sendiri. Surat nikah pun diterbitkan oleh KJRI Jeddah.
- Pengurusan surat N1, N II, N IV dan N V di kelurahan setempat
- Surat pengantar dari KUA setempat yang menerangkan bahwa kedua mempelai akan menikah di Masjidil Haram (Arab Saudi).
- Pass photo 2×3 = 6 lembar, 3×4 = 6 lembar untuk masing-masing mempelai.
- Pengeluaran Pernikahan $ 950 (sudah termasuk buku nikah RI).
- Dokumen persyaratan di atas diserahkan paling lambat 1,5 bulan sebelum keberangkatan.
- Calon mempelai wajib membuat surat pernyataan menikah di Masjidil Haram yang ditandatangani oleh orang tua calon mempelai wanita yang ditujukan kepada KJRI, dikirim selambat-lambatnya 1 bulan sebelum berangkat.
- Keterangan status pernikahan wajib dilampirkan.
Hukum dan Hadits Menikah Saat Haji dan Umroh
Disebutkan juga dalam Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jâmi’ Tirmidzi bahwa Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan mayoritas ulama sepakat bahwa pernikahan seseorang yang berihram tidak sah.
Pandangan mereka didasarkan pada beberapa hadis yang membahas kemakruhan menikah saat dalam keadaan ihram. Sementara itu, Imam Abu Hanifah dan para ahli fiqih dari Kufah berpendapat bahwa pernikahan orang yang sedang muhrim adalah sah.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan sebagian besar ulama, berpendapat bahwa pernikahan seseorang yang sedang ihram (haji atau umrah) tidak sah, sementara Imam Abu Hanifah dan ulama dari Kufah berpendapat sebaliknya.
Namun, dalam kitab Jami’ Tirmidzi terdapat hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah menikah ketika sedang ihram.
عَنِ ابْنِ عَبَّاس أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُوْنَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ
Dari Ibnu Abas RA bahwasannya Nabi SAW menikah dengan Maimunah sedangkan beliau sedang ihram (HR. Tirmidzi)
Dalam hadis lain yang juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, menyebutkan hadis yang bertentangan dengan hadis di atas.
عن أبي رافع قال: تزوج رسول الله ميمونة وهو حلال
Dari Abu Râfi’, ia berkata, “Nabi menikah dengan Maimunah ketika beliau tidak sedang berihram.”
Kedua hadis di atas seakan-akan bertentangan; yang pertama menyebutkan bahwa Maimunah RA menikah dengan Rasul SAW saat dalam keadaan ihram, sementara yang kedua menyatakan sebaliknya, bahwa pernikahan tersebut tidak terjadi dalam keadaan ihram. Bagaimana penjelasan ulama terhadap hadis pertama ini?
Dari ringkasan dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi, para ulama memberikan empat metode untuk menyelesaikan pertentangan dalam kasus ini.
Pertama, Nabi Muhammad SAW dilaporkan tidak berada dalam keadaan ihram, seperti yang disampaikan oleh sebagian besar sahabat.
Al-Qodhi menyatakan, “Hadis ‘Nabi menikah dalam keadaan ihram’ hanya diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, sementara Maimunah, Abu Rafi’, dan yang lainnya menyampaikan bahwa Nabi menikah tanpa ihram. Selain itu, kekuatan hafalan juga memainkan peran, di mana mereka memiliki hafalan yang lebih kuat daripada Ibnu ‘Abbas.”
Kedua, Hadis Ibnu ‘Abbas diinterpretasikan, kata محرم dalam hadis tersebut diartikan sebagai Nabi sedang berada di tanah haram, bukan sedang dalam keadaan ihram.
Ketiga, Ada pertentangan antara ucapan dan tindakan. Sesuai dengan prinsip yang berlaku, ketika terdapat pertentangan antara ucapan dan tindakan dalam hadis, prioritas diberikan pada ucapan. Dalam konteks ini, yang diutamakan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Maimunah sendiri, pelaku pernikahan tersebut.
عن ميونة أن رسول الله صلّى الله عليه وسلم تزوجها وهو حلال
Dari Maimunah RA bahwasannya Rasulullah Saw menikahinya ketika beliau tidak sedang berihram (HR. Tirmidzi)
Keempat, Permasalahan sebelumnya merupakan bagian dari karakteristik khusus (kekhususan) Nabi Muhammad Saw. Pendapat keempat ini memiliki dua aspek: Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa pernikahan tersebut merupakan bagian dari kekhususan Nabi, dan inilah yang dianggap paling kuat, sedangkan pandangan sebaliknya dianggap lemah.
Karena mayoritas ulama melarang pernikahan saat menjalankan ibadah haji atau umrah (ihram), seorang ulama berpandangan Syafii mencatat dalam karyanya, Fathul Qarib al-Mujib, bahwa salah satu larangan dalam ibadah haji adalah melakukan akad nikah, termasuk menjadi wali dalam pernikahan:
(و) الثامن (عقد النكاح) فيحرم على المحرم أن يعقد النكاح لنفسه أو غيره، بوكالة أو ولاية
“Kedelapan (dari sepuluh perkara yang dilarang dilakukan ketika ihram) yaitu akad nikah. Akad nikah diharamkan bagi orang yang sedang ihram, bagi dirinya maupun bagi orang lain (menjadi wali”
Wallahu a’lam
Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan Jika Ingin Menikah Saat Umroh
1. Legalitas Pernikahan
Menjalankan pernikahan di luar negeri, khususnya di Masjidil Haram, adalah opsi yang dapat diakses oleh Warga Negara Indonesia (WNI).
Namun, untuk memperoleh legalitas dalam bentuk buku nikah, pernikahan tersebut harus didaftarkan di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah.
Bagi jamaah umrah, penting untuk memastikan sebelum keberangkatan untuk berkonsultasi dengan agen perjalanan dan KJRI guna mendapatkan informasi teknis terkait pelaksanaan pernikahan dan persiapan dokumen yang diperlukan.
2. Kondisi Masjidil Haram
Masjidil Haram dapat digunakan sebagai lokasi pernikahan, asalkan upacara dilaksanakan dengan sederhana tanpa dekorasi atau pengeras suara.
Penduduk setempat sering menggelar pernikahan di Masjidil Haram, dihadiri oleh mempelai, wali, saksi, dan keluarga terdekat.
Namun, jika pernikahan tersebut akan dilaksanakan di depan Ka’bah, mempelai dan seluruh hadirin wajib mengenakan pakaian ihram sesuai dengan peraturan saat ini. Meskipun pakaian ihram tersebut hanya dikenakan sebagai aksesori, bukan sebagai ihram sejati.
Segera wujudkan impian Anda untuk melaksanakan Umrah di kota suci dengan layanan terbaik bersama Umrah Bandung. Nikmati pengalaman ibadah yang berkesan dan nyaman.
Manfaatkan juga Promo Umrah Bandung eksklusif kami! Dapatkan fasilitas dan pelayanan terbaik dengan harga mulai dari 24,9 juta.
Buat Anda yang ingin menjelajahi keindahan destinasi wisata unggulan di Turki bisa dengan Promo Umrah Plus Turki Bandung. Temukan pengalaman perjalanan yang penuh makna dan berkesan bersama kami!